Selasa, 06 Januari 2009

FRONT PEMBELA ISLAM : DIBUBARKAN ATAU TIDAK

(KONTROVERSI SEPUTAR KEBERADAAN FRONT PEMBELA ISLAM)


 

I.     Pendahuluan


 

        Insiden Monas, sebuah istilah yang kemudian menjadi latar belakang munculnya

beragam pendapat tentang perlu tidaknya organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Islam dibekukan alias dibubarkan. Insiden Monas yang terjadi pada tanggal 1 Juni 2008 merupakan puncak dari akumulasi pertentangan antara yang pro keberadaan Ahmadiyah dengan yang kontra keberadaan Ahmadiyah. Dalam peristiwa ini, AKKBP (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) sebagai pihak yang pro keberadaan Ahmadiyah berhadapan langsung dengan FPI (Front Pembela Islam) di pihak lain sebagai pihak yang kontra keberadaan Ahmadiyah. Informasi yang berkembang adalah FPI menyerang AKKBP.

    Peristiwa "penyerangan" massa FPI terhadap massa AKKBP – Munarman selaku Panglima Komando Laskar Islam mengoreksi bahwa penyerangan tersebut bukan dilakukan oleh massa FPI melainkan oleh Komando Laskar Islam – inilah yang kemudian menjadi pemicu munculnya beragam pendapat tentang perlunya ormas Front Pembela Islam (FPI) dibubarkan. Pertanyaannya sekarang, perlukah FPI dibubarkan? Apakah pembubaran FPI akan menyelesaikan masalah? Apakah ada solusi lain selain pembubaran FPI? Tulisan ini akan mencoba mengurai masalah-masalah di atas.


 

II.     Pembahasan


 

    FPI didirikan pada tanggal 17 Agustus 1998 di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan Ciputat, Jakarta Selatan oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubalig, dan Aktivis Muslim. Pendirian organisasi ini, seperti halnya pendirian organisasi masyarakat lain pasca tumbangnya rezim Soeharto, adalah imbas dibukanya alam demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat.

    FPI dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam dalam menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar di setiap aspek kehidupan. Pendirian FPI dilatarbelakangi oleh pandangan terhadap keadaan-keadaan sebagai berikut:

a. Adanya penderitaan panjang umat Islam, khususnya di Indonesia yang disebabkan oleh lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa.

b.    Adanya kemungkaran dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sector kehidupan.

c. Adanya kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam serta umat Islam.


 

    Tidak ada hal yang istimewa apabila melihat tujuan dan latar belakang pendirian FPI. Secara umum, tujuan dan latar belakang pendirian FPI adalah semata menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tidaklah aneh pula jika FPI menjadikan syariat Islam sebagai landasan dasar organisasinya. Syariat Islam baik sebagai landasan dasar/asas organisasi ataupun sebagai tujuan perjuangan juga banyak dianut oleh organisasi-organisasi lain, baik organisasi masyarakat maupun partai politik, pasca tahun 1998.

    Dalam kiprahnya, FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya sangat kontroversial, khususnya yang dilakukan oleh Laskar Pembela Islamnya. Beberapa aksi seperti penutupan klab malam, tempat pelacuran dan maksiat, ancaman dan penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu (misalnya AS, Inggris, Australia dan warga negara lain yang negaranya memiliki persamaan kepentingan dengan zionis Israel), serta konflik dengan organisasi berbasis agama lain, seperti penentangan terhadap keberadaan Ahmadiyah adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa. Namun demikian, tidak bisa dikesampingkan bahwa FPI juga banyak melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan, seperti pengiriman relawan ke daerah bencana misalnya tsunami di Aceh, penggalangan dana untuk korban bencana, dan juga aksi solidaritas untuk rakyat Palestina.

    Seringnya liputan media mengenai sepak terjang FPI, khususnya liputan tentang aksi-aksi FPI yang mengarah kepada anarkisme, membuat banyak pihak yang selama ini menentang keberadaan FPI menuntut dibubarkannya organisasi ini. Namun demikian, tidak sedikit pula yang tidak menghendaki pembubaran FPI.

Bagi yang menuntut pembubaran, main hakim sendiri yang sering dilakukan FPI sehingga sering berujung pada perusakan hak milik orang lain dalam aksinya, dijadikan sebagai dasar alasan. Sementara itu, bagi yang menentang pembubaran FPI beralasan bahwa yang dilakukan FPI disebabkan kemandulan sistem penegakan hukum. POLRI sebagai satu-satunya institusi penegakan hukum dianggap sering tidak memiliki inisiatif atau bahkan dianggap "membiarkan" berkembang biaknya kemaksiatan di masyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa kontroversi seputar keberadaan FPI akan terus menjadi wacana.

Penulis beranggapan, keberadaan FPI adalah suatu keniscayaan. Sebagai sebuah negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan menempatkan kehidupan berserikat dan berorganisasi sebagai hak bagi setiap warga negaranya, FPI berhak untuk hidup dan berkembang di Republik Indonesia tercinta ini. FPI, seperti halnya NU, Muhammadiyah, Persis dan ataupun ormas-ormas lain (berbasis agama ataupun nonagama), adalah aset bagi bangsa ini. Namun demikian, aksi-aksi kekerasan yang selama ini menjadi citra FPI harus ditinggalkan, karena selain tidak sesuai dengan norma hukum positif bangsa ini, ajaran Islam juga tidak menghendaki. Quran surat An Nahl ayat 125 menegaskan:


 

ادع الى سبيل ربّك بالحكمة والموعظة الحسنة وخادلهم بالتي هي احسن.


 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan jalan yang baik….."


 

    Islam menghendaki dalam menyerukan kebenaran hendaknya dilakukan dengan cara:

a. bil-Hikmah, melalui perkataan atau tindakan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang batil (tidak benar); serta

b. Mau'idhah Hasanah, melalui lisan atau nasehat yang baik.

Selain itu, juga dapat dilakukan dengan cara mujadalah atau dialog melalui forum diskusi, seminar, symposium, dan lain-lain.

    Oleh karena itu, sebagai sebuah organisasi perjuangan yang menempatkan penegakan amar ma'ruf nahi mungkar sebagai basis perjuangan, FPI dapat menempuh cara-cara yang lebih santun, sopan, dan bermartabat sesuai dengan nilai-nilai perjuangan Islam dan tidak melanggar hukum positif bangsa ini. Cara-cara perjuangan yang dapat menimbulkan anarkisme harus ditinggalkan dan diganti dengan cara ma'ruf (santun dan damai) dan memberantas kemungkaran dengan cara bighairil mungkar (tanpa anarkis dan kekerasan). Jika ini dapat dilakukan, yakinlah bahwa FPI akan menjadi garda terdepan perjuangan Islam di Indonesia yang mendapat simpati dan empati dari masyarakat, tidak hanya masyarakat muslim tetapi juga masyarakat non-muslim. Dengan demikian, image atau pandangan bahwa FPI dalam menegakan nilai-nilai Islam selalu anarkis dan dengan kekerasan akan hilang dari pandangan masyarakat.

    Namun, kita juga tidak bisa menutup mata, menjamurnya kemaksiatan dalam masyarakat sekarang ini dikarenakan penegakan hukum sangat lemah. POLRI sebagai satu-satunya institusi yang diberi wewenang oleh negara ini untuk menindak segala bentuk kemaksiatan harus berinisiatif untuk berkomitmen, tidak hanya dalam ucapan para petingginya tetapi juga dalam tindakan, memberantas segala bentuk kejahatan, kemaksiatan dalam bentuk apapun dan yang dilakukan oleh siapa pun dengan tidak memandang siapa pelakunya. Apabila hukum sudah ditegakkan dengan setegas-tegasnya, segala bentuk tindakan anarkis sebagai wujud penegakan hukum di masyarakat tidak akan muncul karena masyarakat sudah yakin bahwa POLRI akan menanganinya dengan tegas.


 

III. Kesimpulan


 

        Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa :

1.    FPI (Front Pembela Islam) sebagai sebuah organisasi masyarakat yang berasaskan Islam tidak harus dibekukan atau dibubarkan.

2.    FPI harus mengubah cara pandang perjuangannya dari perjuangan dengan kekerasan menjadi perjuangan dengan hikmah, mau'idah hasanah, dan mujadalah.

3.     POLRI sebagai satu-satunya institusi penegakan hukum di Republik tercinta ini harus berkomitmen, tidak hanya dalam ucapan para petingginya tetapi juga dalam tindakan, untuk memberantas segala bentuk kejahatan dan kemaksiatan dalam bentuk apapun dan yang dilakukan oleh siapa pun dengan tidak memandang siapa pelakunya.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

SUMBER PUSTAKA


 


 

Alquran dan Terjemahnya. 2000. Semarang: Asy-Syifa

Front Pembela Islam dalam id. Wikipedia.org

Gazali, Hatim. 2008. "Menjernihkan Kontroversi AKKBP vs FPI" dalam

gazali.wordpress.com

Mahfudh, M. Sahal. 1994. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

FRONT PEMBELA ISLAM : DIBUBARKAN ATAU TIDAK

(KONTROVERSI SEPUTAR KEBERADAAN FRONT PEMBELA ISLAM)

TUGAS MAKALAH


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Disusun oleh:


 

NAMA : TITIN SUMARNI

Semester : VII


 


 


 


 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM "AL-HIKMAH" JAKARTA

Senin, 31 Maret 2008

PENELITIAN TINDAKAN KELAS
(CLASSROOM ACTION RESEARCH)

Apakah Penelitian Tikdakan Kelas (PTK) itu ?

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan ragam penelitian pembelajaran yang berkonteks kelas yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi oleh guru, memperbaiki mutu dan hasil pembelajaran dan mencobakan hal-hal baru pembelajaran demi peningkatan mutu dan hasil pembelajaran.

Berdasarkan jumlah dan sifat perilaku para anggotanya, PTK dapat berbentuk individual dan kaloboratif, yang dapat disebut PTK individual dan PTK kaloboratif. Dalam PTK individual seorang guru melaksanakan PTK di kelasnya sendiri atau kelas orang lain, sedang dalam PTK kaloboratif beberapa orang guru secara sinergis melaksanakan PTK di kelas masing-masing dan diantara anggota melakukan kunjungan antar kelas.,...... (baca selanjutnya klik disini)

BERITA DARI LEMBAGA PENELITIAN UNP

Baru-baru ini, Lembaga Penelitian UNP baru saja selesai menyelenggarakan Program Kerja sama dengan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK). Program tersebut berbentuk kepercayaan yang diberikan kepada Lemlit UNP untuk melatih para guru SD, SMP, SMA, dan SMK sebanyak 100 orang per tahun untuk kawasan Sumatra dalam melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Pelaksanaan penelitian dilakukan secara bertahap setiap tahunnya per wilayah. Untuk kesempatan tahun ini, wilayah yang terpilih adalah Wilayah Sumatra Barat yang dipilih secara acak dan yang terpilih adalah wilayah Pesisir Selatan, Solok, Padang Panjang, dan Pariaman. Pada tahun kedua, direncanakan Lemlit UNP sudah dapat memperluas wilayah ke daerah tetangga, seperti Propvinsi Riau, Jambi, Bengkulu. Pada tahun ketiga diharapkan sudah menjangkau wilayah-wilayah lainnya yang masih belum dijangkau. Setelah penelitian selesai, para guru membuat laporan penelitian dan kemudian dialihkan menjadi sebuah artikel yang akan dimuat di dalam Jurnal Pendidikan yang ada di UNP.

Pelaksanaan program terdiri dari beberapa aktivitas yang secara kronologis adalah seperti berikut... (baca selengkapnya klik disini)

LAPOROAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS DAN ARTIKEL

Berikut ada beberapa laporan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) penelitian lainnya dan Artikel, untuk membacanya klik judul laporan berikut:

LAPOROAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS


No.
JUDUL LAPORAN PENELITI


1.


Motivasi, Sikap Tehadap Mengajar dan Konsep Diri Mahasiswa FKIP Universitas Lampung tahun 2001


DR. Nandang Kosasih Ananda, Dosen FKIP Universitas Lampung

2.

Peningkatan Kecepatan Efektif Membaca (KEM) dengan teknik Tri Steve Snyder

Muhammad Sarwono, Guru Bahasa Indonesia SLTPN 3 Patebon Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

3.

Upaya Meningkatkan Keterampilan Membaca Pemahaman Melalui Penerapan Teknik Skema

Fuad Asnawi, Guru Bahasa Indonesia SLTP Mataram, Kasihan. Kabupaten Bantul D.I. Jokyakarta

4.

Peningkatan Kemampuan Membuat Kalimat Bahsa Inggris

Andreas Suwarno, Guru Bahasa Inggris SLTPN 4 Muara Kelingi Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan.

5.

Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa inggris Melalui Teknik KWL dan Permainan Bahasa

Jafrizal, Guru Bahasa Inggris SLTPN 2 Bayang-Painan Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.

6.

Role Play: Suatu alternatif pembelajaran yang efektif dan menyenangkan dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik

Mudairin, Guru Bahasa Inggris SLTP Islam Manbaul Ulum Kabupaten Gresik Jawa Timur.


7.


Efektifitas pembelajaran Geografi melalui Metode Out Door study Dalam upaya meningkatkan minat belajar siswa


Ninik Widayanti, Guru SLTPN 2 Candipura, Kabupaten Lumajang Jawa Timur.


8.


Pendekatan Joyful Learning Dalam pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH)


Sri Hayati, Staf Pengajar Jurusan Geografi, Kepala Pusat PPKLH Lembaga Penelitian UPI


ARTIKEL


No.
JUDUL ARTIKEL PENULIS


1.


Reorientasi Pengembangan Pendidikan di Era Global


Sujarwo, M.Pd. Dosen Pendidikan Laur Sekolah FIP Universitas Negeri Yokyakarta

2.

Tujuh Ayat Sekolah Unggul.

A. Chaedar Al Wasilah. Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

3.

Kebebasan Mimbar Aademik
Dalam Lingkup Kebebasan Akademik

Prof. Dr. Fuad Hassan (mantan Mendiknas) dari Fakultas Psikologi.

4.

Otonomi Pendidikan

Dr. Marihot Manullang

5.

Membangun Kemampuan Manajemen Pendidikan Melalui Pemanfaatan Teknologi Komunikasi dan Informasi Dalam Rangka Otonomi Daerah dan Otonomi Pendidikan

Prof. Dr. Aziz Wahab, M.A, (Ed).Direktur Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

6.

Prof Suyanto PhD, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Ketua Tim Komite Reformasi Pendidikan.

7.

Dewi Utama Faizah (bekerja di Direktorat Pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.

8.

Jujurkah Dunia Pendidikan Kita ?

D. Kemalawati (Guru SMK Banda Aceh)

9.

Belajar Kejujuran di Sekolah

Tabrani Yunis (Director
Center for Community Development and Education (CCDE)

10.

Bila Guru Mau Menulis

Tabrani Yunis (Director
Center for Community Development and Education (CCDE)




Kamis, 13 Maret 2008

Fenomena Ayat-Ayat Cinta

Liputan6.com, Jakarta: Dunia perfilman kita punya ikon baru yang fenomenal. Dua juta penonton dalam waktu hanya dua pekan mampu disedot sebuah film berjudul Ayat-Ayat Cinta. Sejatinya, karya sutradara Hanung Bramantyo ini hanya film roman cinta biasa yang dibalut latar belakang Kota Kairo di Mesir. Sebuah film yang berpusat pada Fahri, sosok laki-laki sempurna yang diperebutkan cintanya oleh empat perempuan [baca: Ayat-Ayat Cinta Pecahkan Rekor].

Namun, jauh sebelum film ini dirilis, novel berjudul sama karangan Habiburrahman El Shirazy sudah lebih dulu menghipnotis banyak pembaca. Jika filmnya sudah ditonton dua juta pasang mata, maka novel Ayat-Ayat Cinta sudah dicetak ulang delapan kali. Jumlah yang terjual tak tanggung-tanggung, hampir setengah juta kopi [baca: Syiar Agama Lewat Ayat-Ayat Cinta]. Jadi, sebenarnya sudah bisa ditebak ketika cerita dalam novel ini diangkat ke layar lebar, penonton pun akan memenuhi gedung bioskop.

Namun, Manoj Punjabi selaku produser, sejak awal mengaku tidak terpengaruh soal predikat best seller novel ini. "Saya ingin membuat sesuatu yang beda," tegas Manoj. Jika selama ini dunia layar lebar dipenuhi film bertema cinta dan horor, setelah membaca novelnya Manoj tertarik untuk menghadirkan film bertema religi. "Target saya [penonton film ini] tujuh juta," ujar Manoj optimistis.

Hampir senada dengan Manoj, sutradara Hanung Bramantyo ingin menyampaikan beberapa hal melalui film ini. Pertama, Islam bukan teroris. Kedua, Islam adalah agama yang lebih mengedepankan cinta, toleransi, sabar, dan ikhlas. Yang melihat Ayat-Ayat Cinta dengan cara berbeda adalah kritikus Eric Sasono. Menurutnya, film ini tak lebih dari film romance. "Semuanya hanya berurusan dengan perempuan mana yang akan dia [Fahri] nikahi," jelas Eric.

Di luar semua itu, juga ada cerita menarik di balik lahirnya film ini. Charissa Putri, misalnya, sejak awal diplot untuk memainkan karakter Aisha, kendati kemudian sukses memerankan sosok Maria. "Padahal waktu pertama casting, saya sudah pesimis karena berat banget," tutur Charissa. Dialog lengkap tentang film Ayat-Ayat Cinta dapat Anda saksikan dalam tayangan video Topik Minggu Ini edisi Rabu, 12 Maret 2008. Selamat Menyaksikan.(ADO)

Rabu, 05 Maret 2008

Saturday, July 14, 2007

Revitalisasi Pembalajaran Bahasa


REVITALISASI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH
Oleh: Sawali

Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi (negara), usia bahasa Indonesia sudah lebih separuh abad. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersbeut mestinya sudah mampu mencapai tingkat “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup, sebab sudsah banyak merasakan liku-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis pun bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu?
Sementara itu, jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing – padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kita lebih suka menggunakan istilah babbysitter, catering, tissue, snack, production house, atau airport, daripada pramusiwi, jawaboga, selampai, kudapan, rumah produksi, atau bandar udara.
Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan, juga menunjukkan perhatian yang cukup besar dan serius dalam upaya menumbuhkembangkan bahasa Indonesia. Melalui “tangan panjang”-nya, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B), pemerintah telah meluncurkan beberapa kaidah kebahasaan baku agar dapat dijadikan sebagai acuan segenap lapisan masyarakat dalam berbahasa Indonesia, seperti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum pembentukan Istilah (PUPI), Tata Bahasa Indonesia Baku (TBIB), maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susah-payah itu tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak. Pemakaian bahasa Indonesia rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya.

Bahasa Kedua
Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa masyarakat seolah-olah cuek dan masa bodoh terhadap segala macam kaidah kebahasaan yang telah ditetapkan sebagai acuan?
Menurut hemat penulis, setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang cukup mendasar. Petama, dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Indonesia hanyalah merupakan bahasa kedua setelah bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Keadaan semacam ini, paling tidak ikut memengaruhi rendahnya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan penutur terhadap bahasa Indonesia, sebaba mereka telah terbiasa bertutur dengan menggunakan kerangka berpikir bahasa daerah, sehingga menjadi “gagap” ketika mereka harus menggunakan bahasa Indonesia secara langsung.
Kedua, kesalahan dalam ber bahasa Indonesia lolos dari jerta hukum. Tampaknya tak ada sebuah ayat pun dalam hukum kita yang memberikan perhatian terhadap para penutur yang dengan sengaja “merusak” bahasa. Akibatnya, mereka bisa leluasa dalam mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya, tanpa ada rasa takut terkena denda atau sanksi apa pun.
Kedua sebab mendasar di atas diperparah lagi dengan masih banyaknya tokoh masyarakat tertentu yang seharusnya menjadi anutan, tetapi nihil perhatiannya terhadap penggunaan bahasa Indonesia yuang baik dan benar. Dalam situasi masyarakat paternalistik seperti di negeri kita, keadaan semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan, sebab masyarakat akan ikut latah, beramai-ramai meniru bahasa tutur tokoh anutannya sebagai bentuk pnghormatan dalam versi lain.

Revitalisasi
Selain kondisi yang kurang kondusif seperti di tersebut di atas, bobot dan mutu pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun tak henti-hentinya dipertanyakan. Hal ini memang beralasan, lantaran sekolah diyakini sebagai institusi yang diharapkan mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki kebanggan terhadap bahasa nasional dan negaranya, berkedisiplinan dan berkesadaran tinggi untuk berbahasa yang baik dan benar, serta punya penghargaan yang memadai terhadap bahasa Indonesia.
Namun, yang terjadi hingga saat ini, pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dinilai belum menunjukkan hasil optimal seperti yang diharapkan. Proses pembelajarannya berlangsung timpang; seadanya, tanpa bobot, dan monoton sehingga peserta didik terpasung dalam suasana pembelajaran yang kaku dan membosankan. Singkatnya, pembelajaran bahasa Indonesia masih memprihatinkan hasilnya, keterampilan berbahasa siswa rendah, sehingga tidak mampu mengungkapkan gagasan dan pikirannya secara logis, runtut, dan mudah diapahami.
Keadaan semacam itu jelas sangat memprihatinkan kita semua, sebab –seperti dikemukakan J.S. Badudu (1994)-- bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang sangat penting bukan saja karena bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang terpenting dalam masyarakat, melainkan juga karena penguasaan bahasa Indonesia yang baik akan sangat membantu siswa dalam memahami mata pelajaran lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin seorang siswa mampu belajar fisika, matematika, biologi, atau kimia, kalau penguasaan bahasanya nol.
Kondisi pembelajaran bahasa Indonesia yang demikian memprihatinkan, mau atau tidak, mengharuskan kita untuk melakukan langkah “revitalisasi”, yaitu dengan menghidupkan dan men\ggairahkan kembali proses pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah didukung semnagt guru yang profesional dan gairah siswa yang terus meningkat intensitasnya dalam belajar dan berlatih berbahasa.
Langkah “revitalisai” yang mesti ditempuh, di antaranya, pertama, menciptakan dan mengembangkan profesionalisme guru. Upaya menciptakan profesionalisme hendaknya dimulai sejak calon guru menempuh pendidikan di LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan) agar kelak setelah benar-benar menjadi guru tidak asing lagi dengan dunianya dan siap pakai. Jelas, tuntutan ideal semacam ini bukan tugas yang ringan bagi LPTK, sebab selain harus mampu mencetak lulusab yang punya kemampuan akdemik tinggi, juga ahrus memiliki integirtas kepribadian yang kuat dan keterampilan mengajar yang andal.
Kedua, guru hendaknya tidak terlalu banyak dibebani oleh tuntutan kurikulum yang dapat “memasung” kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Misalnya, seorang siswa dikatakan tunbtas belajar apabila mendapatkan nilai 6,5 dan secara klasikal siswa yang mendapatkan nilai 6,5 ke atas mencapai 85%. Target yang sudah menjadi “harga mati” inis ering membuat guru terpaksa mengambil jalan pintas dengan menyuapi peserta didiknya dengan setumpuk teori dan definisi. Akibatnya, nilai siswa memang tinggi, tetapi keterampilan berbahasanya rendah lantaran tak pernah dibiasakan dan dilatih berbahasa dengan baik dan benar.
Tujuan pembelajaran bahasa bukanlah untuk menjadikan siswa sebagai ahli bahasa, melainkan sebagai seorang yang dapat menggunakan bahasa untuk keperluannya sendiri, dapat memanfaatkan sebanyak-banyaknya apa yang ada di luar dirinya dari mendengar, membaca, dan mengalami, serta mampu berkomunikasi dengan orang di sekitarnya tentang pengalaman dan pengetahuannya.
Ketiga, buku paket yang “wajib” dipakai hendaknya diupayakan untuk dicarikan buku ajar yang sesuai dengan tingkat kematangan jiwa dan latar belakang sosial-budaya siswa. Hal ini perlu dipikirkan, sebab bahan ajar yang ada dalam buku paket dinilai belum sepenuhnya mampu menarik minat dan gairah siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
Dan keempat, guru bahasa bahasa hendaknya diberi kebbeasan untuk mengembangkan kreativitasnya di sekolah secara bebas dan leluasa, tanpa harus diindoktrinasi dengan berbagai macam bentuk tekanan tertentu yang justru akan menjadi kendala dalam mewujudkan situasi pembelajaran yang ideal.
“Revitalisasi” tersebut hendaknya juga diimbangi pula dnegan peran-serta masyarakat agar bisa menciptakan sauasana kondusif yang mampu merangsang siswa untuk belajar dan berlatih berbahasa Indonesia secara baik dan benar, dengan cara memberikan teladan yang baik dalam peristiwa tutur sehari-hari. Demikian pula media massa (cetak/elektronik) hendaknya juga menaruh kepedulian yang tinggi untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah kebahasan yang berlaku.
Jika langkah “revitalisasi” di atas dapat terwujud, maka tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah bukan mustahil diraih, anjuran pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar kepada seluruh masyarakat pun tidak akan bersifat sloganistis. Bahkan, mungkin pada gilirannya nanti bahasa Indonesia benar-benar akan menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang wibawa dan punya prestise tersendiri di era globalisasi, luwes dan terbuka, dan para penuturnya akan tetap bangga dan setia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah derap peradaban zaman. Sebab, jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan kecintaan terhadap bahasa nasional dan negaranya akan lahir dari sekolah. ***



Senin, 25 Februari 2008

LASKAR PELANGI

"...Seru! Novel ini tidak mengajak pembaca untuk menangisi kemiskinan. Sebaliknya, mengajak kita untuk memandang kemiskinan dengan cara lain. Tepatnya melihat sisi lain dari kondisi kekurangan yang mampu melahirkan kreativitas-kreativitas tak terduga. Keterbatasan-keterbatasan yang dialami nyatanya menumbuhkan anggota Laskar Pelangi menjadi karakter-karakter yang unik. Kenakalan-kenakalan kecil bercampur dengan kepolosan yang cerdas, menghadirkan satu adonan menakjubkan tentang bagaimana masa kecil dipersepsi dan dijalani oleh anak-anak yang luar biasa ini. Mereka menjadi luar biasa karena hidup dalam keterbatasan, luar biasa karena dibesarkan dengan idealisme pendidikan yang terasa naif di jaman sekarang, sekaligus luar biasa karena garis nasib menuntun mereka menjadi sosok-sosok yang tidak pernah terduga oleh siapapun.

MEMOAR, SASTRA RISET

Laskar Pelangi bersumber dari kisah nyata penulisnya. Andrea dibesarkan dalam tipikal keluarga menegha Indonesia yang lebih sering beresiko njomplang ke bawah daripada naik ke atas, di sebuah kampung miskin yang berbatasan dengan sebuah kerajaan besar PN Timah dengan semua fasilitas yang mewah & mahal di tengah asuhan budaya keluarga yang masih kental dengan nilai-nilai Islami. Sekolah yang diceritakan di sini adalah kelas-kelas berdinding kayu, berlantai tanah, beratap bocor, yang kalau malam menjadi kandang hewan. Tanpa poster burung Garuda, foto presiden dan wakil presiden. Amat sederhana bangunan sekolah itu. Tapi persoalan apapun menyangkut pendidikan tak pernah sederhana....

Menariknya, Andrea mengolah semua itu tanpa terjebak pada keberpihakan primordialitas, penyimpulan yang general dan simplistis yang lagi-lagi menyalahkan kesenjangan ekonomi, atau melarikan persoalan pada isu-isu normatif yang semata-mata bersandar pada dogma-dogma religius. Lewat tuturan masa kecil di sekolahnya dan narasinya yang begitu peka dan kaya akan amatan sosiokultural, Andrea meyakinkan pembacanya ihwal the magic of childhood memories, serta adanya pintu keajaiban untuk mengubah dunia: pendidikan. Dalam Laskar Pelangi tergambar pula kecintaan dan rasa hormat pada para Guru. Bagi Andrea, guru-guru seperti Bu Mus dan Pak Harfan adalah pelita, dalam arti yang sesungguhnya. Karya ini mengajak para pembaca untuk berterimakasih pada sang Guru dan merenungkan jasa-jasa mereka tanpa upacara atau nasihat-nasihat klise.

Laskar Pelangi merupakan sebuah memoar, dan mengolah memoar menjadi novel yang memikat bukan perkara gampang. Nyatanya, Laskar Pelangi menjadi memoar yang sangat menarik. Ia menjadi sebuah karya yang menyentuh secara emosional, tapi juga mencerahkan secara intelektual. Deskripsi yang sangat filmis ihwal nature maupun culture dalam Laskar Pelangi tidak saja mampu menarikan imajinasi membentuk theatre of mind di dalam benak. Lebih dari itu, kekayaan referensi lewat kajian literatur yang diolah menjadi bagian-bagian menarik dalam novel ini mengejutkan layak pula dijadikan setidaknya sebagai awal dari suatu rujukan ilmiah. Novel ini berpotensi menjadi satu diantara sedikit karya yang bakal membuat kita tergugah untuk menjenguk kembali sisa-sisa kenangan masa kecil yang mungkin masih kita miliki, serta menghormati sekolah dasar kita, guru-guru kita, lingkungan kecil kita, teman-teman bandel yang kerap menggoda dan dulu begitu menjengkelkan. Mungkin, itulah satu-satunya yang tersisa dari jati diri kita yang masih memperlihatkan serpih kejujuran setelah hasrat duniawi menopengi kita dengan beragam citra artifisial untuk meraih semua keinginan dalam kerakusan ambisi kita...."

Rabu, 20 Februari 2008

DIDI PETET AKTING HINGGA AKHIR HAYAT

Didi “Petet” Widiatmoko
Cinta Mati Dunia Akting Hingga Akhir Hayat
Kemas Irawan Nurrachman - Okezone

Cinta menurut kamus adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan objek tersebut tanpa mengenal lelah.

Seperti halnya Didi Widiatmoko atau lebih d**enal dengan nama Didi Petet. Kecintaannya terhadap dunia akting memang tidak dapat diragukan lagi. Pasalnya, selama 30 tahun terjun di dunia ini, dirinya tidak pernah mengenal rasa letih ataupun jenuh.

“Tidak ada rasa bosan. Kalau cinta kayaknya segalannya akan saya berikan dan tidak ada akhirnya,” ujar pria kelahiran Surabaya ini.

Aktor serba bisa ini mengaku, mulai merasakan keahliannya sejak berumur 15 tahun. Hingga akhirnya, setelah lulus dari tingkat sekolah menengah atas (SMA) dirinya langsung kuliah di Institut Kesenian Jakarta jurusan teater.

“Orang yang paling berjasa dalam hidup saya adalah almarhum Harry Roesli. Karena dia menunjukkan jalan tentang bagaimana harus sekolah akting,” imbuhnya.

Didi menjelaskan, kekagumannya terhadap dunia akting, karena dirinya senang berada di atas panggung dan memerankan berbagai macam tokoh. Bahkan dirinya menganggap, semua pengalamannya merupakan anugerah terindah yang pernah didapatnya.

“Semua pengalaman saya sangat mengesankan. Sehingga, saya tidak bisa pecah satu per satu. Karena itu adalah dunia saya, jadi saya mau bermain bagaimanapun juga tetap menyenangkan,” kata dosen IKJ ini.

Sosok Didi, mulai d**enal masyarakat Indonesia sejak sukses membintangi tokoh ‘Emon’ dalam film remaja Catatan Si Boy. Tidak tanggung-tanggung, sangking larisnya film besutan Nasri Cheppy ini dibuat hingga lima sekuel.

Walaupun sudah terkenal, sosok Didi tetap terlihat cool dan santai. Didi bertekad, dirinya akan menjaga dan konsisten di jalur akting yang menjadi hobi dan sumber penghasilannya ini.

“Karena saya cinta dan cinta. Karena tanpa itu saya tidak bisa dan saya harus menjaganya,” tutur peraih Piala Citra pada FFI 1998 ini.

Kesibukan Didi dalam dunia acting, tidak menganggu keharmonisan keluarga. Didi menjelaskan, sesibuk apapun pekerjaannya, dirinya pasti meluangkan waktu bersama keluarga.

“Ya di bagi saja, bisa kok dibagi. Masih bisa, bahkan hamper setiap hari ketemu tidak ada masalah,” Tukasnya.

Didi mengakui, kesibukannya di dunia akting tidak dipermasalahkan keluarga. Bahkan, ketekunannya di dunia akting di akui oleh kedua orang tuanya.

“Sangat mendukung mulai dari orangtua, isteri, anak, dan banyak lagi yang mendukung. Dan mereka mengerti, saya mencintai pekerjaan ini,” tandasnya.

Didi pun berbagi ilmu bagaimana mempertahankan keharmonisan keluarga. “Saya mengalir saja dan tidak mengharuskan kiat-kiatnya seperti ini atau itu. Intinya masing-masing sadar tentang keberadaannya, saling menghargai, saling menghormati. Karena di atas segala-galanya adalah menghargai dan menghormati. Kayaknya kalau itu sudah terjalin, saya rasa tidak ada masalah,” paparnya.

Tak lupa Didi berpesan, jika ingin menjadi aktor ataupun aktris yang kunci utamanya adalah mencintai dunia yang d**erjakannya.

“Kalau pesan saya belajar, mencintai dan melakukan kegiatan tersebut. Karena kalau sudah mencintai, saya kira sudah mencakup semuanya,” tukasnya. (kem)

PENGERTIAN SASTRA

Sastra (Sansekerta शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata "sastra" bisa pula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.

Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.


Jadi, yang termasuk kedalam kategori Sastra adalah :

  • Novel

  • Cerita / Cerpen (tertulis / lisan)

  • Syair

  • Pantun

  • Sandiwara / Drama

  • Lukisan / Kaligrafi

Sastra Nusantara

  • Sastra Bali

  • Sastra Batak

  • Sastra Bugis

  • Sastra Indonesia (Modern)

  • Sastra Jawa

  • Sastra Madura

  • Sastra Makassar

  • Sastra Melayu

  • Sastra Minangkabau

  • Sastra Sasak

  • Sastra Sunda

  • Sastra Lampung

Sastra Barat

  • Sastra Belanda

  • Sastra Inggris

  • Sastra Italia

  • Sastra Jerman

  • Sastra Latin

  • Sastra Perancis

  • Sastra Rusia

  • Sastra Spanyol

  • Sastra Yunani

Sastra Asia

  • Sastra Arab

  • Sastra Tiongkok

  • Sastra Ibrani

  • Sastra India Modern

  • Sastra Jepang

  • Sastra Parsi

  • Sastra Sansekerta